Aku enggak tahu mau mulai cerita ini dari mana. Ketika kembali ke masa dimana aku dicemplungi dalam persoalan heritage. Ya, aku berkenalan dengan isu ini berawal dari sisi gelapnya heritage. Sekitar 7 tahun silam, aku terlibat dalam satu aksi penolakan penghancuran situs tua Kota Medan, Villa Kembar yang berlokasi di Jl. Diponegoro dan hari ini tempat tersebut sudah menjadi bangunan modern, Adhi Mulia Hotel Medan.

Bolehlah dibilang ikutan aksinya dulu, baru aku perlahan terlibat dengan pergerakan Badan Warisan Sumatera. Keterlibatan itu akhirnya membuat rasa ‘galau’ ku semakin mendalam. Berjuta tanya yang enggak habis dalam benakku “Kenapa Medan ini enggak punya wisata kota yang wah?”

Rasa galau itu mengalahkan logikaku yang pada dasarnya aku ini mahasiswa Psikologi lho! Satu demi satu aku mulai googling apa itu heritage, kenapa aku harus peduli, kenapa ini dilindungi, kok bisa jadi penting, dan bagaimana cara melestarikannya. Berjuta tanya itu gak henti dalam benak dan hatiku.

Rasanya jari ini terlalu genit mengetik dan klik ini itu, menyusuri setiap makna pada artikel yang aku baca pada layar laptopku. Sampai kata “Wow, ini seksi!” kataku berdecak kagum setelah mulai membuka-buka youtube seputar kata kunci heritage. Beragam kegiatan di belahan dunia mana pun tentang isu ini sangat over mantap kali. Akhirnya aku jatuh cinta pada isu heritage. Ya, sekitar tahun 2010 lah aku menjatuhkan hati pada isu ini.

Di tahun yang sama, waktu itu aku dan kakak menemani Mama berobat ke Penang. “Fit, hari ini kakak mau ngajak Fitri ke George Town. Ko pasti bakal suka kali,” kata kakak ku saat kami mau bergegas menghabiskan hari terakhir di Penang. Tiba-tiba fikiranku menjadi liar dan menggerogoti rasa ingin tahuku yang tak henti bertanya, “Emang tempatnya sekeren apa sih? Kok kak Mima begitu rekomendasi dan yakin aku bakal senang jalan-jalan di sana?”

George Town, Penang

Kurang lebih setengah jam perjalanan, akhirnya kami tiba dan kakak ku memilih untuk menyewa sepeda untuk mengakses situs tua kota Penang itu. Roda sepedaku meluncur bebas sebebas kaki ini yang semangat mengkayuh dan pas tiba di pintu masuk George Town and than I said “Wow, ini keren!”

Ah, entahlah. Liburan yang tidak direncanakan ini memberi banyak pengalamanku tentang seksinya isu heritage. Kebetulannya pula saat kami berkunjung ke sana, pas lagi ada agenda George Town Festival. Tidak sekedar menikmati bangunan tuanya yang sangat terawatt saja, melainkan banyak produk lokal, kuliner, dan festival budaya yang bisa aku nikmati secara cuma-cuma.

Rasanya jatuh cintaku akan heritage bertubi-tubi menghujam jantung, seperti lagunya Tompi. Ehehe. Tanya pun tak henti memperkosa nalar berfikirku,”Kek gini mah banyak di Medan ya kak? Harusnya bisa dong ya kak dibuat kek gini juga di Medan. Kesawan itu mah ya begini juga sebenarnya ya kak?” tanya itu buru ke kakak ku untuk segera memuaskannya.

Perlahan si kakak menjawab pertanyaan ku, ya kami membahasnya sambil berjalan dan mendorong sepeda yang tadi disewa. Hingga kami berhenti di satu cafe kecil bekas rumah tua bergaya arsitektur Tionghoa. Teh dan roti sebagai teman kami berbincang. Si kakak melanjutkan penjelasannya dengan mengkaitkan beberapa poin ke dalam pembahasan arsitek, wajar saja karena emang kakak ku berlatar sbelakang Sarjana Arsitek.

George Town, Penang

Pembahasan yang cukup menarik itu membuat wacana berfikirku tentang pentingnya heritage semakin in deep. Sejak saat itu, aku suka sekali mengkaitkan segala hal dengan isu heritage. Sampai perjalanan ke luar kota pun, destinasi bangunan tua menjadi daftar utama dalam agendaku. Ya, semacam suplemen yang harus aku konsumsi supaya benakku lebih bervitamin tentang isu heritage ini.

Tahun 2013 awal mula aku memulai ke-GILA-an ini. Berfikir kalau nunggu ‘tahu’ baru melakukan pergerakan, kapan bergeraknya? Sedangkan kalian tahukan kalau aku ini saja latar belakang akademisinya mahasiswa Psikologi. Dari mana ceritanya ahli ngomongin isu heritage? Tapi, entah kenapa jiwa ini seperti ke-setan-an, ada dorongan yang begitu kuat bilang dari dalam diri ini, “Kenapa harus nunggu ‘tahu’ dulu baru bergerak? Ya, gerak sajalah dulu. Entarkan pelan-pelan ‘jadi tahu’ wooyy! Yang penting bergerak woy!”

Dan akhirnya ke-GILA-an itu pun terjadi, 31 Agustus 2013 merupakan titik awal ke-GILA-an aku dan teman-teman Medan Heritage dimulai. Setahun bergerak, masih seremonial. Tahun kedua, mulai terlihat warna pergerakan dan mulai bertransformasi dari mafia proposal menjadi pelaku fundrising sebagai bentuk penggalangan dana.

Nah, pas masuk tahun ketiga nih yang agak berbeda. Di tahun 2016 ini banyak hal yang membuat aku belajar. Mulai memahami makna pergerakan di segmen anak muda. Ketika kita membahas anak muda berarti kita sedang bercerita tentang gaya hidup, kesukaan, teman sebaya, pola pikir, dan membangun kepercayaan serta jati diri.

Sadar akan hal ini, dan hatiku bilang “Hm, akhirnya ilmu Psikologi ku terpakai juga!” Ya, Psikologi menjadi kekuatan yang aku gunakan sebagai peluru untuk menggencarkan program-program di Medan Heritage. Berikut beberapa contoh terapan ilmu Psikologi ku :

Produk puzzle dan board game Medan Heritage. Digunakan sebagai media pembelajaran disaat kami mengedukasi pengetahuan heritage kepada usia Sekolah Dasar dan Taman Kanak-kanak. Seperti yang kita tahu, anak-anak pada dasarnya senang bermain, makanya media belajarnya dirancang berbentuk permainan yang edukatif.

Board Games

Produk handicraft. Selain dibuat dari daur ulang, konten yang ditawarkan melalui desain produknya juga memiliki unsur edukatif. Dimana pada cover produk berupa visualisasi fisik dari salah satu situs dan di sisi lainnya terdapat penjelasan singkat tentang situs tersebut.

Pouch Handicraft

Kaos tematik. Mengingat karena anak muda tidak pernah terlepas dari yang namanya fashion, maka kami merancang kaos dengan desain-desain tematik dimana setiap tema selalu ada pesan tersirat yang ingin kami sampaikan.

Kaos Tematik

Trik ini sangat membantu kami dalam menularkan virus heritage ke kalangan anak muda yang notabene berbudaya latah dan ke-kini-an. Selain itu , ilmu Psikologi ini juga aku pakai ketika rasa ingin tahuku yang tak henti bertanya “Kenapa Medan ini gini-gini aja? Kok gak ada situs tuanya? Apa yang salah? Dari mana harus aku memulainya? Bagaimana cara menggerakkannya?”

Kegalauan itu terjawab saat aku masuk di salah satu mata kuliah Psikologi Budaya, pas aku lagi melanjutkan kuliah ke jenjang Magister. Bu dosen mengulas bahwa seorang atau sekelompok orang itu enggak mau buang sampah pada tempatnya, bisa jadi bukan karena sifat dasar yang membentuk perilaku tersebut. Tapi, bisa saja itu karena pengaruh dari lingkungan sekitarnya yang membuang sampah sembarangan sehingga membentuk nilai (value) pada individu tersebut bahwa membuang sampah sembarangan adalah hal yang sangat lumrah untuk dilakukan. Akhirnya, perilaku ini menjadi habit dan segala sesuatu yang dilakukan secara berulang serta berkelompok, inilah yang disebut dengan budaya.

Berlandaskan logika ini aku coba menjawab satu persatu kegalauanku tadi. Aku menemukan satu kata yang memjawab “Kenapa Medan masih begini-gini saja heritage-nya?” dan jawabannya ya karena ke-apatis-an masyarakatnya. Nah, kalau di ilmu Psikologi, apatis itu terjadi karena ketidaktahuan manusianya, bukan berupa sifat bawaan dari manusia. Poin, ini yang aku gunakan sebagai peluru dalam senjata pergerakan Medan Heritage.

Edukasi, satu kata mewakili semua bentuk program yang aku dan teman-teman rancang di Medan Heritage. Jadi, kami tidak sibuk demo menentang peruntuhan atau pemusnahan heritage, melainkan lebih merubah pola pikir (mindset) anak muda tentang arti pentingnya melestarikan heritage. Ngapain capek-capek mempertahankan fisik jika manusianya enggak lihai memelihara, yah pasti juga akan hancur dimakan zaman.

Berbeda jika kita merubah pola pikirnya. Ketika bangunan dihancurkan, justru yang recok ya masyarakatnya bukan lagi para pelaku heritage-nya. Kenapa? Karena mereka sudah punya sense of belonging terhadap isu ini. Mereka merasa kalau heritage merupakan bagian dari hartanya yang harus dijaga, jangan sampai dirampok. Begitulah cara aku mencandui heritage.

Sebab, isu heritage adalah hak seluruh penduduk dunia. Latar belakang pendidikan apapun berkewajiban melakukan pelestarian terhadapnya. Maka, temukan caramu sendiri, gerakkan, konsisten, dan tularkan. Yes, the right man in the right place! Demikianlah artikel Aku Psikolog Pecandu Heritage ini mewarnai wacana berfikir kalian. Semoga menjadi inspirasi yang bisa ditularkan ke banyak anak muda lainnya. Yuk, sebarkan!

Aku Psikolog Pecandu Heritage
Tagged on:                         

11 thoughts on “Aku Psikolog Pecandu Heritage

  • December 18, 2020 at 12:04 am
    Permalink

    Seru banget. Terima kasih moms sudah mengingatkan ku kewajiban melestarikan budaya kita juga supaya makin dikenal lewat anak muda

    Reply
  • December 18, 2020 at 7:21 am
    Permalink

    Seru pengalamannya 😍. Salutlah sama anak muda yang concern ama heritage. Inspiring!

    Reply
  • December 21, 2020 at 3:19 am
    Permalink

    Singkatnya psikologi budaya itu seperti para pengendara motor yang ikut ikutan ga tertib ya? Aq blm pernah ke medan nih…

    Reply
    • December 26, 2020 at 5:21 pm
      Permalink

      Salah satu dari sekian banyak teorinya 😁 kalau jadi ke Medan, jangan kagetan ya mba lihat kebiasaan masyarakatnya di jalanan 😂

      Reply
    • November 21, 2022 at 6:11 am
      Permalink

      Sebagai orang luar Medan yang menikah dengan orang Medan, hal yang perlu diulik adalah wisata heritagenya Medan, inget banget dulu main ke masjid raya dan istana maimun, masyaallah memang speechles sih

      Reply
  • October 17, 2022 at 5:57 am
    Permalink

    Pas kaakak masuk blogsum, ku kaya pernah inget ka rizky,
    Ternyata ka rizky heritage,
    Ketemu saat itu sama temen-temen lain bareng PKPU d ringroad, terus saat itu kakak mau adain acara sama anak anak mana gt d taman ahmad yani, terus aku tawarin bubur, masih inget ga ka? Heheh

    Btw ternyata begini cerita asal mula terbentuk komunitas heritage ini y,
    Soal medan ga punya situs betul kali itu, waktu jalan ke solo dan jogja ak main k keraton, dan liat isi dari keraton masih tersimpan banyak sekali barang barang jadul kerajaan dulu, seketika inget sm kampung sendiri, istana maimun aja gada isinya 😭 mengsedih sekali emang kota kita inii, apakah ada artikel Yg bahas hal ini kak? Kepo juga hihihi

    Reply
  • October 17, 2022 at 11:50 pm
    Permalink

    Selain wisata heritage awak kok ya kepengen sunge deli itu diperbaiki sehingga bisa dijadikan wisata tubing. Hahaha
    Secara air sungai deli itu “lumayan arusnya” Pasti asik banget
    Tapi yang pertama diperbaiki ya pastinya undang2 dan menindak perusahaan yang buang limbah ke sungai

    Reply
  • October 19, 2022 at 2:54 pm
    Permalink

    Heritage di Medan cukup banyak sebenernya. Tapi kurang dieksplor. Ada juga yang tidak terawat. Yuk mulai dari diri sendiri untuk merawat heritage yang ada di sekitar, mudah2an Pemerintah dan lingkungan lebih concern dengan isu mempertahankan heritage ini.

    Reply
  • October 20, 2022 at 12:45 am
    Permalink

    Tulisannya keren dan menarik. Jadi tau beberapa produk dari Medan heritage. Kutipan yang “Merubah pola pikir (mindset) anak muda tentang arti pentingnya melestarikan heritage” ini kena banget sih. Lebih melakukan kegiatan yang positif juga bermanfaat.

    Reply
  • October 23, 2022 at 9:55 am
    Permalink

    Semoga bangunan berornamen Melayu Deli di tengah-tengah Lapangan Merdeka yang dirobohkan karena mau buat basement, dapat berdiri kembali. Gak bs bayangin seandainya kota Medan ini dicerabut dari ciri khas Tanah Deli nya, hikss

    Semangat dg heritage-nya, Kakak!

    Reply
  • October 23, 2022 at 10:32 am
    Permalink

    Pengen banget bisa main lagi ke tempat² herritage melayu-islam terutama di Kota Medan, apalagi bisa bawa anak main-main bebas dan cerita sejarah

    Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *